Tamsil Linrung

Anggota Komisi IV dan Panitia Anggaran DPR RI

Monday, June 19, 2006 12:09 AM tamsil-linrung

Tak Lelah Hadapi Masalah

Pada tanggal 17 September 1961, seorang bayi laki-laki mungil lahir di Puskesmas Mandalle, Pangkep, Sulawesi Selatan. Kelahirannya telah dinanti-nantikan oleh kedua orangtuanya demi meneruskan perjuangan hidup mereka sebagai pendidik umat. Melalui doa dan ikhtiar mereka, anak yang ketujuh ini diberi nama Tamsil Linrung.

Masa kecil Tamsil-begitu ia disapa-ia habiskan di kampung halamannya, Segeri Mandalle. Layaknya anak-anak sebaya dia, pendidikan dasarnya ia tempuh di sebuah sekolah negeri, SD Tamarupa di Limoe. Sekolah ini berjarak 2 km dari tempat tinggalnya.

Namun, tidak seperti teman-teman lainnya yang banyak menghabiskan masa belajar di sekolah selama enam tahun, tampaknya itulah hasil didikan orang tuanya secara terpola di rumahnya sehingga ia dapat langsung masuk kelas empat.

Setiap hari Tamsil harus berjalan kaki pulang-pergi sekolah dengan melalui jalan setapak di atas pematang sawah. Usai belajar di sekolah umum ia tidak menyempatkan waktunya buat bermain-main. Pendidikan agama yang minim ia dapatkan di sekolah umum diperolehnya dari sebuah madrasah Darud Da'wah wal Irsyad.

Setamat SD, Tamsil melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) Segeri. Di jenjang pendidikan sekolah menengah ini ia juga menimba ilmu mendidik di PGA--Pendidikan Guru Agama.

Setamat dari SMEP Tamsil mendaftarkan diri pada Sekolah Pendidikan Guru (SPG) di Bungoro, Pangkep. Namun, tinggi badannya tidak memenuhi syarat saat mendaftar, sehingga akhirnya masuk ke SMA di Pangkep. Tak betah di SMA Pangkep, ia pindah ke SMA Parepare sampai menamatkan belajarnya.

Gagal menimba ilmu pendidikan di SPG tidak membuat Tamsil patah semangat. Setamat SMA ia mengincar IKIP Ujungpandang. Meski sebenarnya ia lolos sebagai calon mahasiswa yang bebas tes di UNHAS, Tamsil tetap memilih IKIP. Nasihat orang tuanya telah memberikan inspirasi dan motivasi untuk menjadi seorang yang berjiwa pendidik. Apalagi di masa itu sosok guru teramat dihormati dan disegani; kemana-mana disapa "Tuan Guru".

Mahasiswa Sulawesi Selatan dikenal penuh heroik dalam memperjuangkan hak-hak rakyat. Di era 80-an kondisi semangat yang heroik itu tetap hidup. Situasinya kian memanas ketika rezim Orde Baru memberlakukan kebijakan penghapusan dewan mahasiswa, sementara di bidang sosial kemasyarakatan pemerintah menelurkan kebijakan azas tunggal Pancasila.

Kebijakan tersebut langsung memicu andrenalin para mahasiswa. Di Kota Makassar, beberapa kelompok organisasi mahasiswa turun ke jalan, meneriakkan suara penolakan azas tunggal, penghapusan dewan mahasiswa, serta normalisasi kehidupan kampus/badan koordinasi kampus (NKK/BKK).

Penolakan azas tunggal Pancasila, penghapusan dewan mahasiswa (dema) dan normalisasi kehidupan kampus/badan koordinasi kampus (NKK/BKK) menjadi tema sentral gerakan mahasiswa saat itu. Di kalangan aktivis Islam, juga muncul gerakan menentang kebijakan pelarangan jilbab bagi siswa sekolah dan mahasiswa.

Puncaknya, ketika Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) terpecah menjadi dua kelompok; satu kelompok menerima azas tunggal, sedangkan satunya lagi menolak diberlakukannya azas tunggal. Tamsil yang sudah aktif di HMI sejak masuk kampus IKIP Ujungpandang masuk barisan kelompok yang menolak.

Kelompok HMI yang menolak azas tunggal kemudian mendeklarasikan HMI MPO (Majelis Penyelamatan Organisasi.). Selain Eggi Sudjana, Tamsil adalah salah seorang tokoh pendiri HMI MPO yang menjadi tandingan PB HMI yang bermarkas di Jalan Diponegoro (Jakarta). HMI MPO didirikan sebagai akibat diterimanya asas tunggal Pancasila sebagai asas organisasi HMI oleh PB HMI.

Tamsil sempat menjabat Sekjen terpilih sebagai Ketua Umum PB HMI MPO periode 1988-1990. Gerakan mahasiswa yang menolak azas tunggal tak menyerah pada tindakan aparat yang represif. Tamsil diciduk aparat keamanan karena diduga sebagai salah satu penggerak massa.

Tindakan meredam gerakan mahasiswa tidak hanya dilakukan dengan cara-cara fisik. Mereka yang tidak mempan dengan cara ini terpaksa dilakukan dengan jalur birokrasi. Mereka yang menolak kebijakan pemerintah harus menanggung akibatnya: skorsing kuliah dari kampus. Ia dianggap sebagai provokator aktivis anti-Pancasila. Padahal, ia hanya menolak Pancasila sebagai asas tunggal. Tidak lebih.

Dalam masa skorsing itu hijrah ke Jakarta, meski kemudian ia dapat menyelesaikan kuliahnya dengan baik. Ia pun tetap aktif berorganisasi. Sebagai tokoh HMI MPO, sosok Tamsil menjadi incaran aparat intelijen. Karena menolak pemberlakuan azas tunggal dirinya juga mengenal dan dekat dengan sejumlah tokoh oposan Orde Baru.

Pengintaian aparat terhadap Tamsil mengendur ketika Tamsil resmi masuk kumpulan cendekiawan Muslim, ICMI. Sejumlah tokoh Islam yang dekat dengan dirinya merekomendasikan dan mengajaknya masuk ICMI sehingga Tamsil tak keberatan.

Tamsil pun sangat aktif di ICMI. Awalnya ia masuk struktur pengurus-Sekretaris Umum--di Korwil ICMI DKI Jakarta. Posisi terakhir ia masuk jajaran pengurus pusat ICMI Pusat di bawah Ketua Umum Adi Sasono.

Dua tahun menjabat Sekum, ia bergabung dengan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Ia dipercaya sebagai Bendahara Umum di lembaga tersebut. Saat terjadi konflik horizontal di sejumlah daerah, khususnya Maluku dan Poso DDII mendirikan lembaga kemanusiaan KOMPAK (Komite Penanggulangan Krisis). Tamsil yang ditunjuk sebagai ketua melaksanakan tugas kemanusiaannya dengan sangat baik. Secara rutin dan terprogram KOMPAK memberikan bantuan bahan pangan serta obat-obatan ke wilayah konflik.

Sayang, jerih payah kemanusiaannya diciderai dengan rasa sentimen kelompok tertentu. Gerak-geriknya kembali diawasi. Dewan Dakwah dengan KOMPAK-nya, serta sejumlah lembaga Islam dan tokoh-tokohnya menjadi sasaran tuduhan sebagai kelompok yang "memperkeruh" situasi di Maluku dan Poso (Sulawesi Tengah).

Hingga akhirnya...sebuah peristiwa dramatis yang teringat paling kuat di benak Tamsil. Saat itu tanggal 13 Maret 2002, Tamsil bersama dua rekan usahanya, Abdul Jamal Balfas dan Agus Dwikarna, hendak bertolak ke Bangkok dari Bandara Internasional Ninoy Aquino, Manila, Filipina.

Rabu malam itu tiga orang pengusaha daerah asal Sulsel hendak menghadiri businessman gathering kota Bangkok. Mereka diundang salah seorang pengusaha Thailand, Prasand Sironound, yang tertarik untuk melakukan eksplorasi potensi melimpah pertambangan batu bara di Mindanao, Filipina Selatan.

Mereka tak sadar jika satuan aparat keamanan dari kepolisian dan imigrasi Filipina telah bersiaga menunggu kedatangannya sejak sore di Bandara Ninoy. Agenda pertemuan bisnis itu pun gagal lantaran aparat kepolisian dari Satuan Tugas Sanglahi (penanganan terorisme) Filipina menahan ketiganya dan dibawa ke Camp Crame.

Baik Tamsil, Balfas, maupun Agus, menurut tudingan pihak imigrasi , masuk ke Filipina secara ilegal. Menurut catatan pemeriksaan aparat Filipina, nama ketiga warga Indonesia ini ada dalam manifes pesawat Lufthansa yang membawa mereka ketika tiba di Manila pada 11 Maret 2002. Tetapi, menurut petugas, nama mereka tidak terdapat dalam komputer imigrasi.

Sedangkan aparat kepolisian Filipina menahan mereka karena petugas keamanan bandara mengaku menemukan bahan-bahan peledak (C-4). Di salah satu kopor Tamsil dan Balfas, kata petugas, terdapat bubuk bulat-bulat terbungkus dalam kantong kecil. Sementara di tas tangan Agus, terdapat gulungan kabel. Benda-benda ini dinilai telah melanggar Dekrit Presiden 1866 yang telah diamandemen oleh Undang-Undang Republik 8294 tentang pemilikan senjata api, amunisi, dan bahan peledak secara ilegal.

Tamsil dan dua rekannya dengan tegas menolak dua tuduhan aparat tersebut. Ia datang ke Filipina untuk bertemu dan menggali informasi tentang tambang batu bara di Mindanao pada pengusaha di Filipina. Lantas, membawa info itu untuk kepentingan temu bisnis dengan mitranya di Bangkok. Kepala Bidang Konsuler KBRI Chairul Sulaiman, seperti dikutip Kompas (19/3/02) menyatakan pihaknya telah memeriksa paspor ketiga WNI ini dan mendapati cap stempel kedatangan oleh imigrasi dalam paspor yang digunakan mereka.

Sedangkan soal bahan-bahan peledak yang tuduhkan aparat polisi pun mustahil terbukti. Sebab, pemerintahan Gloria Macapagal Arroyo saat itu sedang gencar-gencarnya memberangus "terorisme" sebagai bagian dari perang melawan "teroris" a la Presiden George W. Bush pasca tragedi WTC, 11 September 2001.

Hal yang mustahil pada penangkapan Tamsil, Agus, dan Balfas tentu menjadi tanda tanya besar. Terbukti, setelah melalui proses pengadilan, Tamsil dan Balfas akhirnya dinyatakan bebas murni pada 24 April 2002 dan perbolehkan kembali ke Tanah Air. Sedangkan Agus Dwikarna gagal dibebaskan. Jadi, siapa yang merekayasa penangkapan itu?

Seorang polisi senior Filipina yang turut memeriksa kasus tersebut mengaku pada Tamsil bahwa drama penangkapan mereka atas "order" pejabat intelijen Indonesia. Atas pengakuan Tamsil ini, media massa pun gencar mengalamatkan pemberitaannya seputar peran Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Letjen (Purn) Hendropriyono.

Hendropriyono yang tak mau disudutkan namanya jadi "kebakaran jenggot". Ia menemui Ketua Umum PAN yang juga Ketua MPR (1999-2004) Amien Rais. Hendropriyono membantah bahwa BIN tidak berada di balik penangkapan tiga WNI itu. Jadi, siapa yang dimaksud "pejabat intelijen Indonesia" seperti dituturkan pembocornya itu? Waktulah yang akan menguaknya.

Tamsil, Balfas, dan Agus telah menjadi "tumbal" persekongkolan jahat hanya lantaran ketiga orang ini aktif memperjuangkan dan membela hak-hak kaum Muslimin yang terzalimi. Pengkapan dan penahanan itu telah mencoreng muka, nama, dan keluarga besar mereka.

Inilah salah satu lembaran kelabu (baca: fitnah) terbesar yang menimpa diri Tamsil. Catatan yang ditorehkan pada lembaran-lembaran "buku putih" menjadi bukti dirinya bersih. Allah SWT Mahaadil. Siapa yang baik akan dibalas dengan kebaikan. Sebaliknya, siapa yang berbuat jahat akan mendapat azab-Nya, di dunia maupun di akhirat.

Perkenalan dan kedekatan Tamsil Linrung dengan tokoh reformasi Amien Rais di Dewan Dakwah mengantarkan Tamsil masuk jalur politik lewat Partai Amanat Nasional (PAN). Tamsil diminta menjabat sebagai bendahara (1999-2000) yang kemudian terpilih sebagai Bendahara Umum (2000-2004).

Sebagai orang yang berlatar belakang pendidikan ekonomi dan juga pengusaha, Tamsil mampu mengemban amanah itu dengan baik. Sayangnya, saat Tamsil tertimpa fitnah di Filipina, posisi Tamsil sebagai bendahara di PAN diusik, baik melalui orang dalam maupun pihak luar. Dengan lapang dada akhirnya Tamsil ikhlas melepaskan jabatannya. Ia untuk sementara istirahat dari hiruk-pikuk perpolitikan nasional.

Hidup bermasyarakat tak sempurna bila menafikan bidang politik. Begitu yang menjadi penggerak jiwa Tamsil. Sebab, melalui keputusan politiklah berbagai peraturan dan perundang-undangan dihasilkan. Kebijakan pemerintah pun berasal dari undang-undang yang berlaku.

Semangat itulah yang mendorong Tamsil menerima pinangan dari sejumlah tokoh dan aktivis muda dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sebagai orang yang pernah menjabat posisi tinggi di sebuah partai, juga dari suara-suara kader yang berkembang, Tamsil berhasil menempati posisi nomor satu kandidat calon anggota legislatif pusat dari Daerah Pemilihan I (Makassar, Gowa, Sinjai, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, Selayar, Bone, dan Maros)

Begitu lolos sebagai calon anggota DPR fitnah kembali menimpanya. Tamsil dituding "setor Rp 1 miliar" untuk memuluskan pencalonan tersebut. Tamsil berupaya meredam isu tersebut dengan komunikasi yang persuasif. Ia juga minta sumber penebar fitnah itu membuktikan tuduhannya. Dan tak terbukti!

Memperoleh suara terbanyak pada pemilu legislatif 2004, Tamsil pun berhak menempati kursi di Senayan. Semula sibuk mengurus bisnisnya, sejak saat itu Tamsil jadi sibuk dengan urusan-urusan politik yang menyangkut kemaslahatan bangsa dan negara. Pagi-pagi ia harus segera meluncur ke Senayan untuk mengikuti sejumlah rapat yang telah dijadwalkan. Begitu sampai di kawasan DPR/MPR itu ia biasanya langsung menuju ruang rapat. Hanya saat rehat sajalah ia akan menuju ke ruang kerjanya-lantai 4, Gedung Nusantara I.

Dengan waktu rehat yang kerap singkat itu ia benar-benar memanfaatkan kesempatan untuk dapat melayani para tamu; selain juga mengecek beberapa tugas yang belum diselesaikan maupun agenda yang belum dijalankan.

Di ruang kerjanya juga kerap terdapat tamu dari berbagai kalangan. Ada wartawan, ada konstituen atau kader PKS dari daerah pemilihan (Sulawesi Selatan), ada mahasiswa, hingga rakyat biasa. Karena waktu pertemuan yang singkat itu, Tamsil hampir selalu meminta mereka untuk to the point dalam menyampaikan maksud dan tujuannya.

Pada masa awal Tamsil ditempatkan oleh Fraksi PKS di Komisi IX-Kesehatan dan Tenaga Kerja--dan Panitia Anggaran. Dalam berbagai rapat Tamsil selalu tampak serius mengamati lembar demi lembar sebuah dokumen atau draf yang disodorkan. Apabila ia dapati sejumlah "masalah" di dokumen itu, maka tak segan-segan ia mengajukan pertanyaan. Demikian pula jika ia dapati kalimat ataupun paragraf yang tidak sesuai dengan kondisi riil di lapangan yang diketahuinya, ia protes.

Misalnya draf RUU Kesehatan yang mempunyai peluang disalahgunakan untuk mengesahkan praktik aborsi. RUU ini adalah inisiatif dari DPR Menurut Tamsil, ada dua pasal yang mempunyai peluang disalahgunakan untuk melegalkan praktik aborsi. Dua pasal itu, yaitu Pasal 73 dan 77. "Dua pasal ini memuat ide-ide soal kebebasan reproduksi tanpa paksaan dan kekerasan," tandasnya.

Sebagai wakil rakyat, jelas ia ingin membuktikan dedikasinya pada rakyat. Maka, dalam setiap kesempatan, terlebih masa reses, ia manfaatkan kehadirannya ke daerah konstituen maupun daerah terkait dengan permasalahan di komisinya. Hampir dipastikan, Tamsil selalu melakukan kunjungan ke daerahnya, terutama pada hari Sabtu dan Ahad.

Belum genap setahun mengemban amanat rakyat, lagi-lagi angin fitnah berembus ke arahnya. Kali ini ia disangka sebagai salah seorang calo DPR. Sangkaan tersebut berasal dari edaran "dokumen liar" yang disebarkan dan dilontarkan Mohd. Darus Agap, anggota Komisi V dari Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (FBPD). Darus menginterupsi Ketua DPR, Agung Laksono, yang sedang membacakan pidatonya dalam rapat paripurna, 29 Agustus 2005. Darus meminta pimpinan dewan dan Badan Kehormatan DPR mengusut praktik percaloan.

Dalam "dokumen" itu nama Tamsil Linrung tercantum jelas sebagai "koordinator" dana bencana untuk daerah Enrekang, Sulawesi Selatan. Tamsil pun mengklarifikasi duduk permasalahan itu saat ia dipanggil BK pada 26 September 2005. Bahwa setiap anggota DPR, katanya, berhak mengusulkan anggaran untuk daerah pemilihannya dan tidak menyalahi aturan. Bahkan, tugas seperti itu merupakan salah satu kewajiban wakil rakyat.

Toh, era parlemen sekarang berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Jika dulu DPR kerap hanya dijadikan alat stempel untuk usulan anggaran dari pemerintah, kini DPR melalui Panitia Anggaran wajib melakukan verifikasi atas usulan anggaran tersebut. Tamsil sendiri dipercaya sebagai sekretaris Tim Kecil Panitia Anggaran-tim yang tugasnya adalah melakukan verifikasi tersebut. Lagi pula, semua baru berupa usulan yang masing-masing harus dibahas di Komisi terkait sebelum dikembalikan ke Panitia Anggaran. Panitia Anggaran juga belum pernah rapat untuk membahas masalah dana bencana.

Hanya selang beberapa pekan usai membeberkan perkaranya hingga meyakinkan pimpinan BK, Tamsil kembali dipanggil pada 17 Oktober 2005. Kali itu Tamsil harus dapat memaparkan persoalan sehingga ada dua pengusaha di bidang kesehatan merasa ditipu oleh Ali Mustafa-orang yang membawa-bawa nama Tamsil demi memuluskan proposal proyek mereka. Kedua pengusaha itu, tak tanggung-tanggung, telah mengeluarkan dana sekitar Rp 1,3 miliar, sementara proyek yang dijanjikan Ali Mustafa tidak kunjung turun. Karena kesal itulah mereka mengadukan permasalahannya pada BK.

Sosok Ali Mustafa memang tidak asing di mata Tamsil. Dia adalah kawan lama yang ia nilai sangat cerdas dan paling jago membuat proposal. Tentu saja Tamsil tidak bisa menolak kedatangannya di suatu pagi-tanpa appointment-Ali memperkenalkan dua pengusaha tersebut di rumah dinas Tamsil. Namun, pertemuan yang singkat itu tidak pernah menyinggung-nyinggung soal proyek. Maksud Ali mungkin ia ingin meyakinkan bahwa dia mengenal Tamsil, yang anggota Panitia Anggaran, dengan baik.

Begitulah penjelasan Tamsil saat dimintai keterangan pimpinan BK. Ali Mustafa yang dipanggil terlebih dulu, juga menyatakan bahwa masalah dua pengusaha itu tidak melibatkan Tamsil Linrung. Tamsil hanyalah "dicatut" namanya demi meyakinkan kedua pengusaha tersebut.

Untuk menenangkan hati, serta menjadi bahan rujukan khususnya bagi media massa, Tamsil mendesak Ali Mustafa membuat surat pernyataan bermaterai tentang apa yang nyatakan pada BK. Akhirnya Ali membuat pernyataan tersebut pada 22 Oktober 2005, yang isinya menegaskan bahwa Tamsil Linrung sama sekali tidak terlibat atau dilibatkan dalam usaha mengegolkan anggaran sebuah proyek kesehatan itu.

BK DPR pada akhirnya memutuskan 3 anggota DPR yang disangka melanggar kode etik ringan, yakni Mudahir (FPDIP), Anwar Fatta (FPDIP), dan Totok Daryanto (FPAN). Mereka hanya dikenai sanksi berupa teguran lisan dan tertulis, serta merekomendasikan mereka untuk tidak lagi duduk di Panitia Anggaran.

"Fitnah lebih kejam dari membunuh", sabda Nabi SAW ini begitu terasa maknanya manakala seseorang terkena fitnah. Demikian pula Tamsil yang selama hampir 4 bulan masalah percaloan ini diblow-up media massa. Dampaknya sangat terasa dalam kehidupan sehari-hari Tamsil dan keluarganya. Karib kerabatnya berkali-kali menanyakan perkembangan terakhir soal percaloan. Karib-karib lamanya juga demikian. Pun, para kader PKS di daerah beberapa kali minta tabayyun (penjelasan) padanya.

Tamsil hanya dapat tersenyum dan mohon doa dalam menghadapi cobaan ini. Karena cukup beratnya ujian, ia pernah menyatakan tidak mau lagi duduk di Panitia Anggaran. Padahal, di kursi inilah terdapat masalah krusial tentang pembahasan dan persetujuan atas semua usulan anggaran pemerintah. Jika tidak dikawal oleh orang-orang yang bersih dan peduli, apa jadinya?

Sebagian besar anggota DPR terkecoh saat pemerintah membuka kran untuk impor beras dari Vietnam pada awal tahun 2006. Sebab, pada periode sebelumnya kebijakan serupa sudah ditentang keras oleh sebagian anggota legislatif. Hak angket untuk menyelidiki data dan fakta impor beras pun digagas oleh beberapa anggota dari FPKS dan FPDIP.

Sayang, hak angket gagal dalam sidang paripurna DPR. Suara mereka yang semula setuju dengan hak angket terpecah menjadi pilihan hak interpelasi berdasarkan "proses politik" yang berkembang. Penjegal hak angket telah membungkam suara-suara yang hendak menyelidiki kebijakan impor beras.

Tak menyerah. Meski gagal mengegolkan hak angket, Tamsil akhirnya memimpin Tim Investigasi Independen yang akan menyelidiki teka-teki atas lahirnya kebijakan impor beras.

Dalam investigasi yang dilakukan selama dua bulan tersebut. Tamsil mendapatkan sejumlah data dan fakta yang sumir. Misalnya soal stok beras nasional, mekanisme impor dengan pelibatan Goverment to Government, "pihak ketiga", serta data yang tak sama antara Deptan dan BPS. Atas data dan fakta yang tampak "menyimpang" itu Tamsil menegaskan akan mempermasalahkan ketidakberesan itu melalui jalur konstitusi dan hukum.

Proses ini kini tengah berlangsung. Oknum-oknum yang merasa terusik berangkali sedang menyiapkan rencana untuk "membidik" Tamsil. Tamsil yang sudah biasa dengan ujian dan cobaan sudah siap dengan apa yang akan menimpanya. Ia takkan lelah hadapi masalah.

Ada 0 komentar

Link ke Lembaga Terkait Komisi IV
Link ke Media Sulsel
Link ke Media Nasionl
Link ke Media Internasional
Arsip

Design & Content WebBlog by
© Roji's Comm. (0813-1003-3536)
2006